Pelajaran Yang Kita Peroleh Dari Tragedi 1965

Oleh M. Fuad Nasar

Wakil Ketua Dewan Pakar DPP IP-KI

Tanggal 9 September 2024, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) mengadakan Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden Ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputeri dan Penyerahan Surat Pimpinan MPR-RI kepada Keluarga Bung Karno tentang Tidak Berlakunya Lagi Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. Keluarga Bung Karno sebagaimana disampaikan oleh Guntur Soekarno sepakat tidak akan mempersoalkan apalagi menuntut ketidakadilan di muka hukum terhadap apa yang pernah dialami Bung Karno tersebut. Sebaliknya menginginkan rehabilitasi nama baik Soekarno atas tuduhan pengkhianatan terhadap bangsa.

Sejarah Republik Indonesia mencatat Bung Karno adalah Proklamator Kemerdekaan, di samping Bung Hatta. Presiden dan Wakil Presiden datang dan pergi silih berganti, tetapi Proklamator Kemerdekaan tidak tergantikan selamanya. Selain sebagai Proklamator, Bung Karno adalah penggali Pancasila dan Bapak Bangsa yang dikagumi dunia. Tetapi, beliau juga manusia biasa yang mengalami masa kejayaan dan kejatuhan yang menyakitkan. Bung Karno sendiri mengakui bahwa kekuasaan seorang Presiden ada batasnya karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat, dan di atas segalanya adalah kekuasaan Allah Swt.

Secara kronologis lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno didahului dengan terbitnya Ketetapan MPRS tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Seumur Hidup. Pengangkatan Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup adalah produk ketetapan MPRS pada periode Ketua MPRS Chairul Saleh. Dalam kurun waktu tersebut MPRS merupakan pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan Bung Karno sebagai Presiden/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi memudar setelah terjadinya gerakan pengkhianatan 30 September 1965.

Gerakan 30 September dan Peristiwa 1 Oktober 1965 merupakan lembaran kelam sejarah Indonesia dan lembaran hitam dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia. Sampai kini peristiwa Gestapu memunculkan banyak versi di mata ilmuwan sejarah yang melakukan pengkajian atas peristiwa enam dekade lampau. Meski fakta dan realita sejarah tidak berubah, tetapi mungkin saja ada interpretasi baru disebabkan makin jauhnya jarak psikologis yang terbentang antara generasi masa kini dan generasi masa lalu yang mengalami peristiwanya. Para historian dan Indonesianist dari luar negeri juga tertarik menulis mengenai kudeta 1965 dari sudut pandang tertentu. 

Menarik ditelusuri istilah “pengkhianatan G.30.S/PKI,” adalah karena Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pelaku pemberontakan dan percobaan kudeta berada di dalam struktur pemerintahan. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965) pemerintahan dibentuk dengan koalisi tiga unsur ideologi yaitu Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM). Dalam peta kekuasaan di masa itu, wakil-wakil PKI duduk sebagai menteri dalam Kabinet, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. PKI secara sadar dan sengaja melakukan percobaan kudeta tahun 1965 dengan menciptakan isu Dewan Jenderal dan isu mengenai jenderal-jenderal yang tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Sejarah mencatat ideologi NASAKOM hanya bertahan hingga kudeta G.30.S tahun 1965.

Pada 1 Oktober 1965 pukul 04.00 WIB, anggota pasukan Tjakrabirawa yang disusupi PKI, di bawah komando Letnan Kolonel Untung selaku Komandan Batalion Resimen Tjakrabirawa melakukan operasi penculikan, pembunuhan dan membenamkan jenazah 6 orang jenderal Angkatan Darat dan satu orang perwira pertama di sumur maut Lobang Buaya Jakarta Timur. Para korban G.30.S yang gugur adalah Ahmad Yani, Soeprapto, Harjono M.T., S. Parman, Sutojo Siswomihardjo, D.I. Pandjaitan, dan Pierre Andreas Tendean (ajudan Jenderal TNI A.H. Nasution).

Menteri Koordinator Hankam/KSAB Jenderal TNI Dr. A.H. Nasution yang menjadi target pertama selamat dari upaya penculikan dan pembunuhan yang kejam tersebut. Namun putrinya yakni Ade Irma Suryani Nasution yang berusia 5 tahun kena tembakan peluru para penculik.  Ade Irma Suryani meninggal di rumah sakit pada 6 Oktober 1965. Ia gugur sebagai pahlawan kecil yang akan menjadi saksi di hadapan Allah tentang kejahatan G.30.S/PKI. Para korban G.30.S atau Gestapu ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Revolusi.

Jenderal A.H. Nasution dalam autobiografinya Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 6, mengungkapkan, “Poros peristiwa 1 Oktober 1965 itu sama dengan poros peristiwa Madiun 1948, yakni menguasai militer sebagai landasan untuk merebut kekuasaan politik.”  Dalam rencana jangka panjang PKI bermaksud menjadikan Republik Indonesia negara Komunis. Keterlibatan PKI sebagai organisasi dalam G.30.S tahun 1965 bukan hanya dugaan, tetapi berdasar bukti-bukti dan pengakuan para pelakunya di persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

Sejarawan dan pengamat militer Prof. Dr. Salim Haji Said dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) menceritakan pernah mewancarai mantan Komandan RPKAD Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo yang ditunjuk oleh Jenderal Soeharto untuk memimpin penumpasan PKI, “Apakah Bapak tidak curiga pada pagi 1 Oktober 1965 itu PKI ada di balik Gestapu?”  Jawab Sarwo Edhie dengan polos, “Tidak menduga sama sekali, sebab PKI itu, kan menerima Pancasila, Manipol, dan selalu menyatakan kesetiaannya kepada Pemimpin Besar Revolusi.”

Bahaya laten komunis sebagai ancaman terhadap keselamatan bangsa dan negara sebetulnya telah disinyalir dalam Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang Sumatera Selatan tanggal 8 – 11 September 1957/12 – 16 Safar 1377 H. Muktamar Alim Ulama mengeluarkan maklumat dan keputusan memperingatkan pemerintah agar mewaspadai gerakan aksi subversif-asing yang membantu perjuangan kaum Komunisme/Ateisme Indonesia, dan mendesak kepada Pemerintah RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai Partai Terlarang di Indonesia.

Dalam Muktamar Alim Ulama tersebut dinyatakan bahwa ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/memilih Kepala Negara/Pemerintah yang berideologi Komunisme. Keputusan Muktamar Alim Ulama di Palembang selanjutnya menegaskan bahwa usaha mencapai Ukhuwah Islamiyah hukumnya Wajib dan mendesak kepada Partai-partai Islam agar menghilangkan garis-garis pemisah yang ada di antara partai-partai Islam guna mencapai kesatuan perjuangan umat Islam. Seruan alim ulama tidak digubris oleh pihak yang berwenang pada waktu itu.

Partai Komunis Indonesia menganut prinsip “tujuan menghalalkan segala cara” sebagaimana teori Machiavell, “het doel heilight de middelen.” Menebar teror, fitnah, menyulut pembelahan dan perpecahan bangsa dan memancing aksi kekerasan adalah cara-cara PKI di masa kejayaannya. PKI dan antek-anteknya menghembuskan isu pertentangan Pancasila dengan Agama, menebar isu umat Islam adalah musuh Pancasila serta memanfaatkan penyelewengan kekuasaan untuk mencapai tujuannya.

Dalam kurun waktu prolog G-30/S korban kekejaman PKI di berbagai daerah tidak terhitung jumlahnya. Penculikan, pembunuhan, tindakan kekerasan maupun pendataan terhadap orang-orang yang anti PKI dan penentang NASAKOM, terjadi di berbagai tempat, baik di kota maupun di desa-desa. Jumlah korban, termasuk para kiyai dan santri, tidak dapat dihitung secara pasti.  

Sementara di sisi lain, setelah G.30.S berbagai aksi balas dendam terhadap kader, anggota, simpatisan bahkan orang yang baru diduga tersangkut dengan PKI, dihabisi secara tidak berperikemanusiaan dan tanpa melalui proses hukum. Presiden Soekarno saat itu membentuk komisi pencari fakta (fact finding) untuk menyelidiki kekejaman terhadap PKI di daerah-daerah. Belakangan disinyalir terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat pasca tragedi 1965. Orang bijak mengatakan penyelesaian masalah dengan cara kekerasan tidak menyelesaikan masalah, tetapi akan membuahkan kekejaman, dan kekejaman akan beranak dendam dan seterusnya.   

Gelombang perubahan politik bergulir secara drastis tanpa dapat dikendalikan pasca-G.30.S. Pemuda, pelajar dan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat menuntut pembubaran PKI dan tuntutan itu bergema di segenap penjuru Indonesia. Demonstrasi mahasiswa yang dimotori KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) serta kesatuan aksi lainnya muncul di ibukota negara Jakarta dan di kota-kota propinsi. Front Pancasila beranggotakan Partai NU, Muhammadiyah, HMI, KAMI/KAPPI, dan kesatuan aksi lainnya sepakat menuntut pembubaran PKI. Tuntutan bubarkan PKI, retool kabinet dan turunkan harga dikenal sebagai “Tritura,” singkatan dari tiga tuntutan rakyat.

Sebagai epilog G.30.S., PKI menjadi musuh bersama bangsa Indonesia. Karena itu tindakan pembubaran PKI oleh Panglima Konstrad Jenderal Soeharto selaku Pengemban Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) disambut gembira oleh segenap rakyat Indonesia. Pembubaran PKI mencakup semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya dan penyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Setelah itu banyak tokoh-tokoh PKI yang ditangkap. Pembubaran PKI ditetapkan berdasarkan keputusan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi No 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang ditanda-tangani oleh Jenderal Soeharto.

Pelaksanaan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 tak lepas dari desakan rakyat dan tuntutan para demonstran. Sidang Istimewa MPRS pasca G.30.S adalah Sidang Istimewa yang pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Semenjak Oktober 1965 mulai mengemuka perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta untuk menindak para pelaku G.30.S. Adapun persoalan Bung Karno, sebagaimana diakui oleh Jenderal Dr. A.H. Nasution, “Sungguh masalah politik psikologis yang amat berat. Karena dalam pidato penutupan Sidang Istimewa MPRS, Jenderal Nasution menyatakan, “Terima kasih kita semua kepada beliau dan tidak sedikit jasa-jasanya kepada Negara dan Bangsa Indonesia.”

Keputusan Pengemban Supersemar tentang Pembubaran PKI dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang ditetapkan dalam Sidang Umum Ke IV MPRS. Pimpinan MPRS periode itu terdiri dari Jenderal TNI Dr. A.H. Nasution (Ketua) dan Wakil Ketua Osa Maliki, H.M. Subchan Z.E., M. Siregar, dan Brigjen TNI Mashudi. Dalam Sidang Umum Ke-IV tahun 1966, MPRS mengeluarkan Tap No X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah Pada Posisi dan Fungsi Yang Diatur Dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Jenderal Besar TNI Dr. A.H. Nasution dalam tahun-tahun terakhir sebelum wafat menanggapi kritik atas pembubaran dan pelarangan PKI yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Pak Nas menjelaskan, “Justru kalau PKI tidak dibubarkan malah kita yang melanggar HAM. Jadi yang tidak mau membubarkan PKI itulah yang melanggar HAM. Kenapa? Karena tuntutan rakyat menggelegak, PKI harus dibubarkan dan tidak boleh hidup di Indonesia. PKI anti Tuhan (atheis), bertentangan dengan Pancasila.” ujarnya.

Dalam pasal 2 ayat (1) Ketetapan MPR-RI No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS/MPR sejak 1960-2002 dinyatakan bahwa Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan seterusnya, tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan MPRS ini ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Kewaspadaan nasional terhadap ideologi kiri atau komunis tetap diperlukan saat ini, meski tidak perlu berlebihan. Kewaspadaan harus simultan dengan perbaikan ekonomi rakyat, pemerataan pendidikan dan penanggulangan ketimpangan sosial-ekonomi. PKI sebagai organisasi politik telah masuk ke dalam “kuburan sejarah,” tetapi komunis atau neo-komunis sebagai paham dan ideologi radikal tidak mati.

Saya pernah dikirimi bundelan makalah dari tokoh pejuang kemerdekaan Dr. H. Roeslan Abdulgani mengenai ancaman bahaya Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Dalam surat Cak Roeslan tanggal 3 Oktober 1997 beliau berpesan, “Semua itu memerlukan pembacaan yang teliti, penuh renungan, dan proyeksi masa depan.” Roeslan Abdulgani dalam makalah yang ditulisnya mengingatkan bahwa perlu kita sadari bersama, dalam mengimbangi ajaran-ajaran Marxisme itu tidak cukup hanya dengan mengembangkan ajaran ideologi yang lebih superior, seperti halnya dengan Pancasila kita itu, tetapi juga memberantas kemiskinan dan keterbelakangan yang masih melekat pada mayoritas rakyat kita; tidak hanya simptomnya saja yang harus kita berantas bersama, tetapi lebih-lebih lagi sumber sebab-musababnya.

Bangsa Indonesia yang sedang meniti jalan demokrasi perlu membina ketahanan ideologi di tengah konstelasi politik global abad 21 agar sejarah kelam di masa lalu tidak berulang. Negara kuat bisa menguasai negara lemah melalui penguasaan ekonomi, teknologi, dan menguasai Sumber Daya Alam (SDA) yang sejatinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai cita-cita para pendiri bangsa. Bung Karno dahulu mengidentifikasi bahaya “Nekolim,” singkatan dari Neo-Kolonioalisme dan Imperialisme. Hanya cara menghadapinya yang tidak tepat dengan merangkul kekuatan ideologi radikal Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Presiden Soekarno sebagai pribadi tidak mengkhianati bangsanya. Bung Karno teguh dengan pendirian bahwa partai komunis di Indonesia berbeda dari partai komunis di Soviet-Rusia dan negara-negara lain. Ia tidak mau membubarkan PKI pasca Gestapu atau Gerakan 30 September 1965. Sikap Bung Karno dapat dibaca dalam buku Bung Hatta Menjawab (1979) ketika menceritakan perdebatan Bung Hatta dengan Bung Karno tahun 1950-an. Berbeda sikap dari Bung Karno, Bung Hatta memandang semua partai komunis di mana-mana adalah sama saja. Dari situ kita mendapat pelajaran bahwa pandangan, jangkauan analisa dan perhitungan strategis manusia bersifat terbatas, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui yang nyata dan yang ghaib.

Dalam kurun waktu 1967 sampai tutup usia, Bung Karno rela terasing dan menderita asalkan bangsa Indonesia tidak terpecah-belah atau dilanda perang saudara. Ia tidak melakukan perlawanan setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak dalam Sidang Istimewa MPRS. Kecintaan Bung Karno kepada bangsanya ditunjukkan dalam situasi yang teramat sulit. Menteri Luar Negeri Adam Malik, terakhir Wakil Presiden RI, dalam autobiografinya Adam Malik Mengabdi Republik, Jilid II, menceritakan bagaimana dia berusaha mengajak Bung Karno ke luar negeri. Presiden Gamal Abdul Nasser dari Republik Arab Mesir menyampaikan kesanggupannya untuk menerima Bung Karno sebagai tamunya tinggal di kota Islandariyah. Sang proklamator kemerdekaan menolak segala usaha untuk mengungsikannya keluar negeri.

Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret disingkat Supersemar, Bung Karno masih sebagai Presiden, tapi tanpa memiliki kekuasaan yang efektif. Di sisi lain, Jenderal Soeharto secara pribadi tidak pernah membenci Soekarno. Bahkan seperti diutarakan Marsekal Madya TNI (Purn) H. Boediardjo dalam memoar mantan Menteri Penerangan itu, Siapa Sudi Saya Dongengi (2006), ada kesan Soeharto melindungi Bung Karno agar jangan sampai dihadapkan pada pengadilan Mahmilub. Setelah Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 sekaligus Pejabat Presiden RI yaitu Jenderal TNI Soeharto pada tanggal 22 Pebruari 1967.  

Dalam Sidang Umum Ke V MPRS yang berlangsung dari tanggal 21 Maret 1968 hingga 30 Maret 1967 dilaksanakan Upacara Pelantikan Jenderal Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia pada 27 Maret 1968. Solichin Salam dalam buku Bung Karno Putera Fajar (1984) menceritakan kisah jatuhnya Presiden Pertama RI secara tragis, di mana berdasarkan Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967 melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai Pemilihan Umum. Presiden Soeharto sebagaimana dituturkannya dalam buku Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989), usai diangkat menjadi Presiden RI yang kedua pada tanggal 27 Maret 1968, ia menerima sepucuk surat dari Bung Karno. Surat Bung Karno mengucapkan selamat dan menyatakan bahwa beliau tidak berkeinginan untuk menjadi Presiden kembali.

Presiden Pertama RI Soekarno wafat pada Minggu pagi 21 Juni 1970 pukul 07.00 WIB di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Bapak Bangsa itu meninggal pada usia 69 tahun dalam status hukum yang tidak tuntas. Bung Karno berada dalam karantina politik sejak keluarnya Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967. Ketua Tim Dokter Kepresidenan dan mantan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Mahar Mardjono pernah membuat pernyataan mengejutkan di tahun 1998 bahwa ia tidak terlalu menyalahkan anggapan yang mengatakan Bung Karno sengaja dibiarkan meninggal pelan-pelan.

Penyelenggaraan pemakaman jenazah Bung Karno di Taman Makam Pahlawan Blitar, Jawa Timur diselenggarakan secara kenegaraan dengan upacara militer dan inspektur upacara Panglima Kopkamtib Jenderal TNI Maraden Panggabean.  Sedangkan upacara pelepasan jenazah di Wisma Yaso Jalan Jenderal Gatot Soebroto No 14 Jakarta, dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Banyak hikmah dan pelajaran yang kita peroleh dari tragedi 1965. Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 menetapkan Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Pada awalnya menurut Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat No 977/9/1966 tanggal 17 September 1966 tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila oleh TNI Angkatan Darat saja. Sejarah adalah pelajaran berharga dan pedoman dalam menghadapi masa depan agar peristiwa kelam di masa lalu tidak berulang.



Leave a Reply