Sjafruddin Prawiranegara Profil Seorang Pejuang, Pemimpin dan Negarawan

 Oleh M. Fuad Nasar

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer atas Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta atau dikenal sebagai Agresi Militer II. Saat itu Belanda menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa Menteri anggota kabinet. Para pemimpin republik dibawa dan diasingkan ke Bangka, Prapat, dan Brastagi di Sumatera.

Sejarawan Mestika Zed dalam buku Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan (1997) mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi ketika itu bahwa dalam tempo seminggu hampir semua kota-kota penting di seluruh tanah air jatuh ke tangan Belanda. Sebagai akibatnya, Republik Indonesia, nation state yang diproklamirkan Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945 itu, hampir tamat riwayatnya. Belanda mengumumkan bahwa Republik sudah tidak ada lagi. Dugaan demikian ternyata meleset karena bangsa Indonesia memiliki basis kekuatan perjuangan gerilya.

Negara yang mengalami kekosongan pemerintahan sangat berbahaya. Situasi darurat menjadi latar belakang terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi Sumatera Barat. PDRI diketuai oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang mengambil inisiatif mengumumkan berdirinya pemerintah darurat sebagai pemerintahan alternatif.

Tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Bela Negara berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006. Konsideran menimbang pada Keputusan Presiden tentang Hari Bela Negara, menyatakan; bahwa tanggal 19 Desember 1948 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal tersebut terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka bela negara.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia  

PDRI merupakan tonggak sejarah perjuangan bangsa untuk menyelamatkan negara Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beberapa jam sebelum meninggalkan Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 mengirim surat kawat (telegram) kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, yang sedang melakukan kunjungan dinas ke Bukittinggi.

Surat kawat berbunyi sebagai berikut: “Mandat Presiden Soekarno/Wakil Presiden Hatta kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat Di Sumatera. Yogyakarta, 19 Desember 1948. Presiden Soekarno. Wakil Presiden Moh. Hatta.” Surat kawat Presiden Soekarno itu tidak pernah sampai ke tangan Sjafruddin.

        Kawat kedua tanggal yang sama, menyatakan jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada Prof. Dr. Soedarsono, Palar, Mr. A.A. Maramis di New Delhi dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di India. 

Pembentukan PDRI diputuskan pada tanggal 19 Desember 1948 dalam pertemuan Mr. Sjafruddin Prawiranegara dengan Mr. T.M. Hasan (Komisariat Pemerintah Pusat) di Bukittinggi. Kabinet PDRI diumumkan oleh Sjafruddin Prawiranegara di Halaban, Payakumbuh, di daerah perkebunan teh di lereng Gunung Sago, pada 22 Desember 1948. Untuk mengenang sejarah, Pemerintah membangun Museum PDRI di Koto Tinggi, Sumatera Barat, sebuah nagari (desa) bersejarah dalam perjuangan membela kemerdekaan Republik Indonesia.

Sjafruddin dan kawan-kawan seperjuangan memimpin PDRI dari hutan dan bergerilya dari satu nagari (desa) ke nagari lainnya di wilayah Minangkabau. PDRI tidak pernah lama di suatu tempat, tetapi bersifat mobile di daerah Minangkabau. PDRI memiliki pemancar radio sendiri untuk memudahkan perhubungan dan informasi. PDRI didukung secara moril dan materil oleh pengorbanan rakyat Minangkabau dan dikawal oleh pasukan tentara yang bergerilya. Pemerintahan darurat yang berlangsung selama 6 bulan 21 hari atau 207 hari mempunyai makna besar dan menentukan keberlangsungan perjuangan bangsa Indonesia.

  Mr. Sutan Mohammad Rasjid dalam buku Sekitar PDRIPemerintah Darurat Republik Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1982) menulis, “Secara hukum (yuridis) dinyatakan di sini bahwa kedua kawat tanggal 19 Desember 1948 itu adalah sumber Hukum berdirinya PDRI seperti juga Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, adalah sumber Hukum berdirinya Republik Indonesia”.

          Dalam buku Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang-Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) Sjafrudin Prawiranegara mengatakan PDRI pada saat itu adalah satu-satunya Pemerintah yang sah.  

PDRI memiliki arti penting dari sudut historis dan strategi perjuangan di dalam Perang Kemerdekaan. Perjuangan gerilya dan perjuangan diplomasi, dua cara perjuangan yang tak terpisahkan satu sama lain. Peran PDRI menjadi bukti konkrit bahwa negara Republik Indonesia tidak bubar sebagaimana diberitakan radio Hilversum di Belanda.  Stasiun Radio Koto Tinggi memainkan peran penting sebagai saluran komunikasi PDRI dengan daerah lain di Sumatera, Jawa dan luar negeri.

          Pejuang demokrasi dan mantan Wakil Ketua DPR-RI A.M. Fatwa selaku Ketua Umum Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara tahun 2011 dalam sambutan buku Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah (Jakarta: Republika, 2011) mengemukakan, “Sudah terlalu lama bangsa ini tidak objektif di dalam membaca sejarahnya. Satu fase penting di dalam sejarah perjuangan fisik Republik Indonesia yaitu terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 dengan tokoh utamanya, Mr. Sjafruddin Prawiranegara.”

          Lukman Harun dalam tulisan berjudul “Hari-Hari Terakhir PDRI” dimuat di buku Pak Natsir 80 Tahun, Buku Pertama, Pandangan dan Penilaian Generasi Muda (Jakarta: Media Dakwah, 1988), menuturkan kesaksiannya sewaktu turut menyaksikan rapat umum di lapangan sepak bola Koto Kaciek Kewedanaan Suliki tanggal 7 Juli 1949. Rapat umum dihadiri tidak kurang dari 5.000 orang. Saat itu berpidato Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Dr. J. Leimena, Mohammad Natsir, dan terakhir Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

          Sjafruddin dalam pidatonya, sebagaimana dicatat Lukman Harun, mengatakan, “Kalau akan hancur lebih baik sama-sama, kalau akan tenggelam sama-sama, tetapi saya yakin kalau bersama-sama kita tidak akan tenggelam. Waktu mendirikan PDRI kita bukan untuk merebut pangkat dan kursi karena kita sering duduk di atas lantai. Tetapi oleh karena perbuatan kita ini didasarkan atas kejujuran pada rakyat dan pada Tuhan, tokh kita selamat sampai esok atau lusa kita akan menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Soekarno-Hatta kembali.”

          Dalam epilog PDRI, setelah Yogya kembali, Sjafruddin selaku Ketua PDRI datang sendiri ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat PDRI kepada Presiden Soekarno dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 13 Juli 1949. Hari itu Yogyakarta kembali ke dalam wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia sesuai hasil perundingan utusan Indonesia yang ditunjuk Soekarno dari tempat pembuangannya, yaitu Mr. Mohamad Roem dengan pihak Belanda atau dikenal sebagai perundingan Roem-Van Royen tanggal 7 Mei 1949.

          Sikap kenegarawanan Sjafruddin Prawiranegara dalam episode prolog dan epilog PDRI, meneladankan sikap meletakkan kepentingan bangsa dan negara serta keutuhan Negara Republik Indonesia di atas segala-galanya.  

          Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003 – 2008, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, dalam Seminar Memperingati Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara (2011) menegaskan bahwa secara hukum tidak perlu ada keraguan bagi kita untuk menyatakan bahwa Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan tanggal 13 Juli 1949 adalah kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Dalam sistem UUD 1945, kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia itu, tiada lain adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

          Pahlawan Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta menyebut Ketua PDRI sebagai Presiden Darurat. Sejarah membuktikan, Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat, sebagaimana ditulis Lukman Hakiem dalam Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah, bukan sekadar mengisi kekosongan pemerintahan, tetapi PDRI lahir untuk menyambung eksistensi Negara Republik Indonesia yang sejak 19 Desember 1948 oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap telah lenyap dari peta bumi, karena ibukota Yogyakarta, Presiden, Wakil Presiden, dan para pemimpinnya telah mereka tawan dan dibuang jauh ke pulau Sumatera.

Pejuang Sejati Tanpa Pamrih

          Sjafruddin Prawiranegara memiliki garis keturunan dari Pagaruyung Minangkabau, Sumatera Barat, dilahirkan di Anyar Kidul, Banten, tanggal 28 Februari 1911. Pendidikan yang ditempuh putra dari Raden Arsjad Prawiraatmadja, seorang Camat di zaman Hindia Belanda itu, ialah ELS (Europeesche Lagere School) di Serang, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun, dan melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) Bagian A di Bandung. Gelar Meester in de Rechten atau biasa disingkat “Mr” diraihnya tahun 1939 di RHS (Rechts Hogeschool, Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. RHS adalah cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

          Setelah Indonesia merdeka, Sjafruddin pernah menjabat Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan dan Menteri Kemakmuran. Di awal kemerdekaan, menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjalankan fungsi sebagai lembaga legislatif. Sjafruddin Prawiranegara adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) yang pertama. Sebelumnya, ia menjabat Presiden De Javasche Bank yang hendak dinasionalisasi. Pada 953 De Javasche Bank dilikuidasi dan sebagai gantinya dibentuk Bank Indonesia. 

          Dalam jejak pengabdian Sjafruddin selaku Menteri Keuangan, ia merealisasikan kebijakan menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI) yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada jam 24.00 malam tanggal 29-30 Oktober 1946. Kebijakan lain yang diprakarsai Sjafruddin semasa menjadi Menteri Keuangan ialah melakukan pemotongan nilai mata uang pada 19 Maret 1950 atau terkenal sebagai “Gunting Sjafruddin”. Kebijakan itu diambil untuk menahan laju inflasi pada waktu itu. Uang kertas pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai nominalnya, namun selanjutnya bagian kiri harus ditukarkan dengan uang kertas baru. Sedangkan bagian kanannya dinyatakan tidak laku, tetapi dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai nominalnya.

          Dalam buku biografi Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT ditulis Ajib Rosidi (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986) diungkapkan pada waktu Mohammad Natsir mengembalikan mandatnya sebagai Perdana Menteri kepada Presiden, Sjafruddin juga berhenti sebagai Menteri Keuangan. Sesuai pernyataan yang pernah dilontarkannya ketika mempertahankan Undang-Undang Darurat tentang Pajak Peredaran, dia tidak akan mau lagi duduk dalam kabinet sebagai Menteri Keuangan, dan sebagai menteri apa pun juga.

          Di masa demokrasi liberal atau zaman pemerintahan partai-partai, Sjafruddin menangkap kesan kebanyakan politisi yang memimpin partai politik tidak sungguh-sungguh memikirkan dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Kebanyakan politisi waktu itu hanya memikirkan kepentingan partainya atau golongannya sendiri. Sjafruddin tercengang mendengar ucapan seorang kiyai dan pemimpin partai politik berkata: memegang pemerintahan itu tidak lain daripada membagi-bagi tumpeng …”

          Kalimat sarkasme di atas melukiskan praktik politik yang tengah berlangsung di negara kita di masa itu. Jumlah kementerian bertambah banyak dalam setiap kabinet karena banyak orang yang harus kebagian “tumpeng”. Pemerintahan tidak berjalan efisien. 

          Dalam buku Indonesia Di Persimpangan Jalan (1951), Sjafruddin Prawiranegara mengingatkan betapa bahaya demokrasi yang tenggelam dalam koalisi. Koalisi dimakan anarki dan anarki akan dihabisi oleh golongan bersenjata. Pernyataan itu terbukti kebenarannya dalam sejarah Indonesia di kemudian hari.    

          Pada penghujung era Orde Lama, Sjafruddin Prawiranegara menjadi tahanan politik tanpa proses pengadilan. Selain Sjafruddin, sejumlah tokoh Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang tegas dalam sikap antikomunis ditangkap dan dipenjara tanpa proses hukum. Mereka menghirup udara bebas setelah rezim Orde Lama berganti dengan Orde Baru pasca pengkhianatan dan pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965.

          Otoritarianisme terulang kembali di masa Orde Baru. Sekitar tahun 1980 pemerintah melalui Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) melakukan tindakan cegah tangkal (cekal) ke luar negeri dan larangan menghadiri acara-acara resmi yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden kepada Sjafruddin Prawiranegara dan para penanda-tangan pernyataan keprihatinan yang dikenal sebagai Petisi 50.

          Sampai akhir hayat Sjafruddin Prawiranegara tidak pernah menerima penghargaan dari negara atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara yang sangat monumental. Setelah reformasi, Presiden Ke-3 Republik Indonesia B.J. Habibie pada tahun 1998 menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Republik Indonesia Adipradana kepada almarhum Sjafruddin Prawiranegara. Pengakuan dan penghargaan negara atas jasa dan dharmabakti tokoh pejuang datang di akhir setelah ditutupnya lembaran hidup.

          Penetapan Pahlawan Nasional untuk Sjafruddin Prawiranegara melalui proses yang tidak mudah. Pengusulannya sebanyak dua kali sempat ditolak, pengusulan yang ketiga baru berhasil. Hal itu disebabkan stigma sebagai “pemberontak” dilekatkan kepadanya lantaran keterlibatan dalam pergolakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat.

          PRRI sesuai fakta merupakan gerakan perlawanan sipil dan militer yang menuntut desentralisasi dan otonomi yang luas kepada daerah-daerah, pemerataan pembangunan antara wilayah Jawa dan luar Jawa serta mendesak pemerintah pusat agar melarang ideologi komunisme karena bertentangan dengan Pancasila. Seorang penulis Barat R.Z. Leirissa dalam bukunya menyebut PRRI sebagai strategis membangun Indonesia tanpa Komunis.

          Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam buku Perlawanan Seorang Pejuang, Biografi Kolonel Ahmad Husein (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) mencatat PRRI mendeklarasikan piagam perjuangannya yang ditujukan kepada pemerintah Jakarta dengan judul “Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia”. Piagam Perjuangan PRRI dibacakan Kolonel Simbolon hari Senin malam tanggal 10 Febreuari 1958 dalam suatu pertemuan akbar di Gubernuran, Padang.

          Penyusun buku Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah memberi catatan mengenai PRRI dan keterlibatan Sjafruddin, Natsir, Burhanuddin Harahap dan kawan-kawan, sebagai berikut, “PRRI berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). GAM dan OPM berangkat dari penolakannya kepada Republik Indonesia, sedangkan PRRI justru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme.

Bela Negara Sepanjang Hayat

          Pakar Indonesia dari Cornell University Amerika Serikat, Prof. Dr. George Mc Turnan Kahin menilai Mr. Sjafruddin Prawiranegara  adalah “seorang yang mempunyai integritas yang sangat utuh, solid integrity”. Perjuangan dan jasa-jasa Sjafruddin terpahat abadi dalam perjalanan bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan maupun di masa mengisi kemerdekaan. Baginya, bela negara dilakukan sepanjang hayat, bela negara dengan pemikiran dan perbuatan. 

          Sjafruddin Prawiranegara seorang pemikir dengan gagasan-gagasan yang melampaui zamannya. Hemat saya, Sjafruddin adalah tokoh generasi awal yang membuka wawasan ekonomi Islam di Indonesia. Sjafruddin telah menulis tentang ekonomi Islam jauh sebelum lahir dan berkembangnya bank syariah di negara kita.

          Semasa hidupnya Sjafruddin banyak memberi ulasan seputar ekonomi dan moneter semenjak Indonesia merdeka, masa peralihan, dan masa pembangunan Orde Baru. Tinjauan pemikirannya berani dan kritis untuk kebaikan bangsa dan negara. Tulisan Sjafruddin dipublikasikan di majalah Panji Masyarakat, Kiblat, Suara Masjid dan lain-lain. Buah pikirannya sebagian diterbitkan dalam bentuk buku kecil atau brosur, termasuk Khutbah Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha yang disampaikannya.   

Karya tulis Sjafruddin Prawiranegara antara lain: Al-Aqabah (Pendakian Yang Tinggi), Islam Dilihat dengan Kacamata Modern, Islam dalam Pergolakan Dunia, Masa Depan Islam, Islam Insya Allah Pasti Menang, Peran Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia, Merombak Pandangan Hidup dan Struktur Politik sebagai Syarat Mutlak Memperbaiki Keadaan Ekonomi, Uang dan Bank Ditinjau Dari Segi Ekonomi dan Agama, Human Development Pola Pembangunan Yang Sesuai Dengan Ajaran-Ajaran Islam dan Undang-Undang Dasar 1945, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I, Islam Sebagai Pedoman Hidup, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam, dan Kumpulan Karangan Terpilih Jilid III, Agama dan Bangsa: Pembangunan dan Masalah-masalahnya.  

          Menurut Sjafruddin dalam Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Jakarta: CV Haji Masagung, 1988), salah satu penyebab timbulnya kekacauan sosial dan semakin lebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan miskin di dunia adalah karena agama dipisahkan dari ekonomi. Padahal, ekonomi tidak boleh dijauhkan dari ajaran-ajaran agama. Islam mengajarkan, dalam usaha kita mencari nafkah untuk keperluan hidup, kita sekali-kali tidak boleh melupakan kewajiban terhadap sesama manusia, khususnya terhadap orang-orang yang miskin dan lemah. Lebih jauh diungkapkannya, dalam Islam, pasar dan perdagangan harus bebas dari unsur kecurangan, spekulasi, monopoli dan keuntungan yang melampaui batas.

          Dalam tulisan “Motif Ekonomi atau Prinsip Ekonomi Diukur Menurut Hukum-Hukum Islam”, Sjafruddin menegaskan, di dalam suatu masyarakat di mana Islam merupakan kekuatan yang hidup dan nyata, motif ekonomi tidak lagi merupakan hukum fundamental dalam usaha manusia. Bahkan sebaliknya, pertimbangan-pertimbangan agama, yang menurut ilmu ekonomi merupakan faktor yang kadang-kadang mempengaruhi motif ekonomi, lebih diutamakan daripada motif  ekonomi itu sendiri.

Pembangunan Akhlak

          Islam, menurut Sjafruddin, bukan semata-mata agama dalam pengertian yang sempit, melainkan sebuah “way of life” dan pedoman hidup yang universal. Kebenaran Islam dapat dilihat dan dibuktikan dengan tinjauan kacamata modern.

          Manusia yang harus didahulukan, bukan kapital, tegas Sjafruddin dalam tulisannya Membangun Kembali Ekonomi Indonesia (1966). Ia mengingatkan pemerintah Orde Baru, jangan terlalu terpukau oleh peranan dan kontribusi modal asing dalam pembangunan, yang sampai mengakibatkan pemerintah kurang melindungi modal dan tenaga “manusia Indonesia” yang benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha pembangunan bangsanya. Mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila, yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan materiilnya, ujarnya.

          Menurut Sjafruddin, pembangunan akhlak harus mendahului pembangunan ekonomi. Sebab, kalau pembangunan ekonomi tidak didahului, sekurang-kurangnya tidak disertai pembangunan akhlak, maka pembangunan ekonomi itu akan merangsang manusia yang diberi tugas merencanakan dan melaksanakan pembangunan itu untuk melakukan korupsi, yaitu menyalahgunakan kedudukan kekuasaannya untuk memperkaya diri. 

          Sjafruddin menyoroti kesalahan sistem ekonomi sosialis (Marxis) dan keburukan sistem ekonomi liberal yang menurutnya bertentangan dengan fitrah manusia. Sebab, manusia yang diberi kebebasan terlalu besar, akan menyalahgunakan kebebasannya itu. Yang kuat dan pintar itu akan memeras yang miskin dan lemah. Di samping kemakmuran yang tinggi pada golongan yang kecil, terdapat kemiskinan pada golongan yang besar.

          Menarik disimak, pandangan Sjafruddin mengenai riba yang secara konseptual berbeda dari kebanyakan cendekiawan muslim. Orang umumnya mengindentikkan riba dengan interest atau bunga bank. Sjafruddin, dengan alasan-alasan pokok didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadits, berkesimpulan bahwa riba adalah keuntungan berupa uang, barang atau jasa yang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar perikemanusiaan. Menurutnya, kalau kita berdagang semata-mata didorong oleh nafsu untuk memperoleh keuntungan, maka keuntungannya adalah termasuk riba. Tafsir yang salah mengenai riba, niscaya akan mengaburkan pandangan dan pengertian kita tentang tujuan Islam yang sebenarnya, ujarnya.

          Mengenai bahaya riba, Sjafruddin menjelaskan, bahwa yang diharamkan Allah SWT bukanlah memperalat dan memeras uang, sebab uang tidak dapat diperas. Tetapi yang dilarang Allah adalah memperalat dan memeras sesama manusia, baik dengan mempergunakan uang maupun barang-barang atau jasa-jasa lainnya sebagai alat pemeras. Riba dapat dicegah, kalau manusia itu tujuan hidupnya adalah mengabdi kepada Allah SWT dan berbuat baik terhadap sesama makhluk Allah sebagaimana diajarkan-Nya dalam Al Quran dan dijelaskan dalam Hadits Nabi SAW, ungkapnya.

          Dalam buku kecil Aspirasi Islam dan Penyalurannya (1987), Sjafruddin menulis, menurut ajaran Islam, ekonomi tidak boleh disusun secara sosialistis, menurut wawasan-wawasan Marxisme, tetapi juga tidak boleh secara kapitalistis yang mengizinkan seseorang mencari dan memupuk kekayaan tanpa batas. Ekonomi menurut ajaran-ajaran Islam harus disusun menurut suatu jalan tengah antara sosialisme dan kapitalisme. Hak milik perseorangan itu diakui Islam, tetapi dengan ketentuan bahwa pada kekayaan itu ada hak orang miskin.

          Pandangan Sjafruddin tentang zakat menarik dikaji lebih mendalam. Sebagaimana gagasan yang tercetus di kalangan para pemimpin Islam sejak 1950-an, Sjafruddin berpendapat perlunya zakat diatur dengan undang-undang. Tujuan zakat adalah supaya perbedaan material antara orang kaya dan orang miskin jangan terlalu menyolok. Negara dan masyarakat wajib mengusahakan, jangan sampai ada orang miskin jadi mati kelaparan atau mati karena tidak bisa pergi ke dokter atau membeli obat karena tidak punya uang. Pendek kata, zakat maal adalah pajak yang harus dibayar oleh orang yang mampu, menurut kemampuannya dan menurut keperluan masyarakat guna menghilangkan/mengurangi kemiskinan, tegasnya.

Kritik Bukan Karena Benci    

          Sjafruddin berpendapat, hanya masyarakat yang berdasarkan hukum yang bisa makmur. Jika hukum dan keadilan lenyap, kemakmuran akan lenyap pula. Dalam Khutbah Idul Fitri tahun 1979, Sjafruddin mengutarakan keprihatinannya melihat timbulnya gejala di tengah masyarakat Indonesia dimana “Pancasila” ditukar dengan “Panca-gila”, dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan “Keuangan yang maha kuasa”, dan sila-sila lainnya mengikuti perubahan itu. Jadi, bukan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi pemimpin hidup, tetapi yang dijadikan pedoman hidup adalah “uang” yang dianggap di atas segalanya, imbuhnya.

          Dalam buku Peranan Agama dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat dan Ekonomi Indonesia (Djakarta: Bulan Bintang, 1966) Sjafruddin menegaskan, “Orang yang tidak beragama, atau kurang kuat kesadaran agamanya, akan binasa di bawah tekanan kekayaan atau kekuasaan.” 

          Sekitar tahun 1983 Sjafruddin menulis surat kepada Pak Harto meluruskan pandangan mengenai Pancasila. Kesetiaannya terhadap Pancasila tak perlu diragukan. Surat Sjafruddin tidak mendapatkan tanggapan, namun ia tak merasa sakit hati walaupun saran dan kritiknya demi kebaikan bangsa dan negara diabaikan. 

          Sepanjang hidupnya Sjafruddin Prawiranegara dikenal sebagai sosok yang berkarakter dan memegang teguh prinsip-prinsip perjuangan yang diyakininya. Sjafruddin mengemukakan, “Kalau saya sering mengkritik pemerintah, bukan artinya saya tidak mengenal takut. Saya takut kepada Presiden Soeharto, saya takut kepada Pangkopkamtib Laksamana Soedomo. Tapi saya lebih takut lagi kepada Allah SWT. Kita ditugaskan oleh Allah untuk memberi ingat kepada kebenaran. Saya melakukannya dengan didasari kasih sayang. Saya tidak menyimpan rasa benci sedikit pun terhadap Presiden Soeharto maupun terhadap Laksamana Soedomo, atau terhadap para pejabat yang lain.”   

Sebuah sikap terpuji dari Sjafruddin patut diteladani oleh generasi muda dalam rangka pengembangan demokrasi dan etika kehidupan bernegara, “Jangan pernah kehilangan objektivitas meskipun terhadap mereka yang tidak kita sukai.”  

          Sjafruddin membela negara sepanjang hayatnya. Pengabdiannya pada cita-cita perjuangan bangsa meliputi perjuangan fisik, perjuangan menata pemerintahan negara sampai perjuangan melalui pemikiran, keberpihakan dan kepeduliannya terhadap cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

          Sjafruddin Prawiranegara wafat di Jakarta tanggal 15 Februari 1989 dalam usia 78 tahun. Selesai shalat jenazah di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru Jakarta, menjelang diberangkatkan ke pemakaman di TPU Tanah Kusir, Mohammad Natsir mewakili sahabat seperjuangan memberikan kata sambutan perpisahan. Natsir mengatakan, “Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan almarhum Sjafruddin Prawiranegara, selain kata: Istiqamah!”.

Pemerintah dengan Keputusan Presiden RI Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sjafruddin Prawiranegara sebagai penghargaan atas jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia.



Leave a Reply