Haji Agus Salim, Pahlawan Kemerdekaan dan Perintis Diplomasi Indonesia 

Oleh M. Fuad Nasar

Yayasan Hadji Agus Salim diketuai Agustanzil Sjahroezah pada 30 November 2024 menggelar Peringatan 70 Tahun Wafatnya Hadji Agus Salim dan Peluncuran Buku Hadji Agus Salim, The Grand Old Man, Jurnalis, Ulama, Diplomat, di auditorium Universitas YARSI Jakarta. Peluncuran buku merupakan acara puncak dari rangkaian kegiatan Festival Hadji Agus Salim yang melibatkan komunitas anak muda penggiat wisata Koto Gadang Sumatera Barat (Kage Sumbar). 

Dalam kesempatan itu Prof. Dr. Emil Salim (94 tahun) menuturkan sekelumit nilai-nilai keteladanan yang membekas dalam kenangan berinteraksi dengan pamannya Haji Agus Salim. Cendekiawan senior itu menggaris-bawahi teladan ketulusan, kejujuran dan keikhlasan Agus Salim. Jika berbuat untuk negeri, sesuaikan hati, kata dan jiwa menjadi satu, jangan berpura-pura. Agus Salim berjuang bukan untuk kepentingan diri, bukan untuk kekayaan diri, tetapi untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Pembicara lainnya Prof. Dr. Meutia Hatta, Prof. Dr. Fasli Djalal, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dan Muhammad Ali (wakil generasi muda).

Buku The Grand Old Man (Editor Agustanzil Sjahroezah, Penerbit Yayasan Hadji Agus Salim, Jakarta, 2024) memuat tulisan kenang-kenangan kepada Haji Agus Salim yang dirangkum dari buku Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional (Solichin Salam, 1963) dan Seratus Tahun Haji Agus Salim (Panitia Buku Peringatan, 1984). Dalam buku tersebut dihimpun senarai artikel Mohammad Hatta, A.R. Baswedan, Mr. Mohamad Roem, Buya Hamka, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, M. Zein Hassan, George McTurnan Kahin, Tom K. Chritchley, Solichin Salam, Taufik Abdullah, Ridwan Saidi, Ahmad Syafii Maarif, Islam Salim, Maryam B. Subadio, Jojet Sjahroezah, Kustiniyati Mochtar, R. Brash, John Coast, B.A. Ubain dan Mohammad Moein, Ibnu Qoyyim Ismail, dan H.M. Soejono Hardjosoediro.

Sejarah mencatat jejak langkah Haji Agus Salim sebagai ulama, sastrawan, negarawan, pemimpin pergerakan kebangsaan, perintis diplomasi Indonesia, dan bapak kaum intelektual muslim Indonesia. Ketokohannya dihormati dan disegani di dalam maupun di luar negeri. Presiden Pertama RI Soekarno memanggilnya The Grand Old Man, artinya sesepuh agung.

Pejuang bangsa yang mampu berbicara dalam 9 bahasa itu lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884. Sejak kecil terkenal kecerdasannya di kalangan teman-teman sebaya dan mendapat pujian dari guru meski kadang menghadapi diskriminasi di sekolahnya. Agus Salim bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) setingkat sekolah dasar di Riau, tempat ayahnya Sutan Mohammad Salim bertugas sebagai Jaksa Kepala (Hoofdjaksa). Agus Salim melanjutkan sekolahnya ke HBS (Hogere Burgerschool) setingkat sekolah lanjutan di Batavia (Jakarta). Ia gagal meraih kesempatan untuk memperoleh beasiswa pendidikan kedokteran ke Negeri Belanda meski dia lulus HBS dengan nilai yang tinggi.

Dalam kurun waktu pra-kemerdekaan Agus Salim aktif sebagai Pengurus Besar Centraal Sarekat Islam (1915), dia orang kedua setelah Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Sarekat Islam. Kiprah Agus Salim di Jong Islamieten Bond (JIB) melahirkan kader-kader pejuang dan pemimpin yang berkompeten dalam menegakkan negara proklamasi. Sekitar tahun 1927 ia menghadiri Muktamar Alam Islami di Mekkah.Raja Abdul Aziz Ibnu Saud secara khusus mengundang Agus Salim untuk bersilaturahim di Istana Raja.

Sekitar tahun 1921 hingga 1924 Agus Salim menjadi Anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di zaman kolonial, sebagai wakil Sarekat Islam. Jauh sebelum Sumpah Pemuda,  bahasa Melayu/Indonesia telah digunakan dalam sidang Volksraad oleh Agus Salim, meski ditegur oleh Ketua Volksraad yang memintanya berpidato dalam bahasa Belanda. Ia akhirnya mengundurkan diri karena keberadaannya di lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial itu tidak membawa manfaat yang diharapkan bagi kepentingan rakyat Indonesia.

Haji Agus Salim pernah bekerja di Jeddah Arab Saudi pada Konsulat Belanda selama hampir 5 tahun. Ia bertugas sebagai penterjemah bahasa yang sekaligus mengurus jemaah haji Indonesia. Petugas konsulat di Jeddah sebelumnya orang Belanda semua. Mereka tidak bisa masuk ke tanah haram Makkah dan Madinah. Agus Salim ketika itu menjalankan peran bagai diplomat yang mewakili Konsulat menghadiri acara-acara resmi Kerajaan Arab Saudi terutama di Makkah dan Madinah. Agus Salim berkhidmat kepada bangsanya dan jemaah haji Indonesia di tanah suci. Ia memperjuangkan hak-hak jemaah haji dalam pelayanan umum di tanah suci. 

Tawaran bekerja pada Konsulat Belanda diterimanya karena dorongan ibunya, meski mulanya Agus Salim kurang berminat. Dia mengambil hikmahnya untuk  meningkatkan kemampuan berbahasa Arab selama di Arab Saudi dan memperdalam pengetahuan Islam kepada pamannya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan Imam Masjidil Haram dan ulama tempat belajar para pemuda Indonesia. Sepulang dari Arab Saudi, Agus Salim mendirikan sekolah dasar HIS (Hollandsche Inlandsche School) swasta di kampung halamannya Koto Gadang, dekat kota Bukittinggi yang di zaman Hindia Belanda disebut Ford De Kock.

Pada tahun 1945, Agus Salim diangkat sebagai Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia juga salah satu Panitia Kecil (Panitia Sembilan) yang merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disebut oleh Prof. Mr. Muhammad Yamin sebagai Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.

Dalam sidang BPUPKI, Haji Agus Salim tampil sebagai penengah perdebatan ideologis antara kelompok nasionalis islami dan nasionalis sekuler. Dalam tulisannya di Majalah Hikmah edisi 21 Juni 1953, Agus Salim mengungkapkan kedudukan Pancasila sebagai lambang persatuan semua golongan yang ada di Indonesia.

Di masa revolusi kemerdekaan, Agus Salim, Sutan Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya memperjuangkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia melalui jalur diplomasi hingga ke sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada masa perang kemerdekaan dan Agresi Militer Belanda II tahun 1948, Agus Salim diasingkan oleh Pemerintah Belanda ke Brastagi dan Prapat di Sumatera Utara, dengan pengawalan yang ketat. Agus Salim dan Soekarno kemudian diasingkan ke Pulau Bangka bersama Bung Hatta dan kawan-kawan.

Dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta, bulan November 1945, Haji Agus Salim ikut mendirikan Masyumi, namun tidak sempat melihat Masyumi mengikuti Pemilihan Umum Pertama tahun 1955. Dalam tugas kenegaraan, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1945 – 1946), Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet Sjahrir III (1947), Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin (1947), dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta (1948 – 1949).

Haji Agus Salim adalah tokoh yang mendidik dirinya sendiri sebelum mendidik bangsanya. Menurut kesaksian Prof. Dr. Hamka, Agus Salim seorang ulama sejati, yang kian tua kian kelihatan keulamaannya, kematangan tauhidnya, kekukuhan tawakalnya, dan persangkaannya yang baik (husnuzh-zhan) terhadap Allah Swt. Agama bukan lagi semata-mata ilmunya, melainkan lebih dari itu, menjadi pandangan hidupnya yang kekal, sampai kepada masa wafatnya.  Tidak nampak kesuraman di zaman miskin, malahan selalu gembira. Dan tidak nampak gembira ria di kala hidup telah terjamin, melainkan kesyukuran yang mendalam.

Salah seorang murid politik Agus Salim yakni Mr. Kasman Singodimedjo mengidentikkan kehidupan Agus Salim dengan adagium dalam bahasa Belanda, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Dalam buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa (2019) Faisal Basri dan Haris Munandar mengungkapkan, biar miskin, Agus Salim tidak pernah mempan disogok, baik terang-terangan maupun secara tersamar. Baginya jangankan yang haram, yang halal saja belum tentu ia mau.

Dalam perjuangan diplomasi Agus Salim ditunjuk menjadi anggota delegasi Indonesia di forum Inter Asian Relations Conference di New Delhi, India. Pada 3 Juni 1953 dia mewakili Pemerintah Indonesia bersama Sri Paku Alam VIII menghadiri Penobatan Ratu Elizabenth II di London, Inggris. Agus Salim dan Mohammad Hatta menghadiri Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Negeri Belanda pada 23 Agustus 1949, dimana salah satu hasil KMB pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 30 Desember 1949.

Perjanjian Persahabatan Indonesia dan Mesir merupakan pengakuan pertama dari negara lain atas kemerdekaan Indonesia. Delegasi Indonesia ke Mesir waktu itu dipimpin oleh Haji Agus Salim sebagai ketua, anggota delegasi Sutan Sjahrir, A.R. Baswedan, Nazir Sutan Pamuncak, H.M. Rasjidi, dan R.H. Abdul Kadir.Pengakuan Mesir telah menghancurkan harapan Belanda untuk dapat kembali menguasai Indonesia,” tulis Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Menteri Agama Pertama RI) dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984).

Ketika pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta tahun 1951 dan Prof. K.H.R. Moh. Adnan diangkat menjadi Ketua PTAIN yang pertama, Haji Agus Salim diminta oleh pimpinan PTAIN untuk memberi kuliah tentang dakwah Islam. Ia menyambut baik undangan mengajar sebagai guru besar di PTAIN dan mengajukan permohonan berhenti sebagai Penasihat Utama Kementerian Luar Negeri supaya lebih fokus mengajar. Akan tetapi Menteri Luar Negeri Prof. Mr. Soenarjo tidak mengizinkan Haji Agus Salim berhenti dari jabatan Penasihat Kementerian Luar Negeri, meski beliau akan bertugas mengajar di PTAIN Yogyakarta.

Haji Agus Salim adalah seorang jenius dan hal itu diungkapkan Mohammad Hatta dalam wawancara dengan Solichin Salam sebagaimana dikutip dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim. Bung Hatta mengatakan bahwa “dalam seratus tahun hanya lahir satu manusia semacam itu“. Banyak ucapan Agus Salim mengandung kata-kata mutiara, sayang tidak ada sekretaris yang mencatatnya. Mengenai gambaran rasa setia kawan dan solidaritas yang besar pada diri Agus Salim, “Kalau dapat ia ingin menolong semua orang yang melarat hidupnya. Perasaan itulah barangkali yang menimbulkan paham sosialisme dalam dadanya, yang diperkuat pula oleh ajaran Islam,” ungkap Bung Hatta.

Pada tahun 1953, Agus Salim diundang sebagai guru besar tamu dalam semester musim semi untuk memberikan kuliah agama Islam di Cornell University di Ithaca Amerika Serikat, dan memberi ceramah Pergerakan dan Cita-Cita Islam Indonesia di Princeton University Amerika Serikat. George McT Kahin menyebut Kuliah Islam Agus Salim di Amerika Serikat tahun 1953 menimbulkan minat di kalangan kaum mahasiswa, pesertanya makin lama makin banyak. Kata Kahin, belum pernah ada guru besar muslim yang memimpin program dimaksud di kampus terkemuka di negara Barat. Rekaman kuliah Agus Salim di Cornell University diterjemahkan oleh J. Taufik Salim dan diterbitkan menjadi buku Pesan-Pesan Islam (Penerbit Mizan, 2009).

Haji Agus Salim sering mengisi siaran radio, berkhutbah dan memberi ceramah tentang Islam, filsafat dan masalah kemasyarakatan. Pada 30 November 1952 dia  diundang oleh Menteri Agama untuk menyampaikan uraian hikmah Maulid Nabi Muhammad Saw dalam Peringatan Maulid Nabi secara kenegaraan di Istana Negara Jakarta dihadiri para pejabat negara dan  korps diplomatik dari negara-negara sahabat. “Kembalilah mempelajari dan mengamalkan isi Al-Quran!” pesan Haji Agus Salim di depan para hadirin.

Salah satu nasihat Agus Salim kepada keponakannya Emil Salim agar mendalami Islam tidak hanya dari sudut agama, tetapi juga memahami peranan Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan, seperti aljabar, astronomi, kedokteran dan lain-lain. Pelajarilah agama Islam tidak hanya dalam hubungan manusia dengan Allah Swt, tetapi juga manusia antar sesama dalam kehidupan dunia.

Dalam sebuah tulisannya di surat kabar Neratja, 25 September 1917, Agus Salim menegaskan, “Dalam negeri kita janganlah kita yang menumpang.” Pernyataan ini, menurut Buya Hamka, adalah bekal yang menjadi pegangan seluruh insan Indonesia yang mesti tahu ke mana arah mereka akan bergerak.

Pada tahun 1977 penerbit Bulan Bintang, Jakarta, menerbitkan buku Ketuhanan Yang Maha Esa & Lahirnya Pancasila, tulisan Haji Agus Salim dan Mohamad Roem.  Dalam buku itu Agus Salim menjelaskan arti merdeka dan berdaulat bagi bangsa Indonesia yang memiliki pokok ideologi Pancasila sebagai nilai terpenting dalam pendirian Republik. Kata Haji Agus Salim, Merdeka artinya negeri dan rakyat tidak takluk kepada dan tidak tunduk di bawah kekuasaan asing. Berdaulat, artinya negeri dan rakyat memiliki kekuasaan penuh untuk mengadakan dan menjalankan hukum atas negeri dan bangsa sendiri.

Karya tulis Haji Agus Salim, antara lain: Tasauf Dalam Agama Islam (1916), Persatuan Islam (1923), Wajib Bergerak (1923), De Behoefte aan Godsdienst (1925), Perempuan Dalam Islam (1925), De Sluiering en Afzondering der Vrouw (1926), Islam dan Bahagia Tidak Terpisah (1928), Hukum Yang Lima (1928), Adat Kontra Islam (1934), Hari Raya Idul Fitri (1934), Cerita Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw (1935), Godsdienst (1935), Rahasia Puasa Menurut Imam Al-Ghazali (1936), Gods Laatste Boodschap de Universele Godsdients (1937), Riwayat Kedatangan Islam Di Indonesia (1941), Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal (1953), Ketuhanan Yang Maha Esa (1953), Muhammad Sebelum dan Sesudah Hijrah (1958), Islam Wasiat Tuhan Yang Terachir: Agama Manusia Seluruh Dunia (diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh S. Soerowijono, 1958).   

Pada saat usianya menjelang 70 tahun, Agus Salim bermaksud menuliskan semua pemikiran yang pernah disampaikannya dalam sebuah buku dan menyelesaikan karangan mengenai Tafsir Al-Qur’an. Sebelum niat mulia itu terlaksana panggilan Allah  mendahului memanggilnya pulang ke alam yang kekal.    

Haji Agus Salim tutup usia satu bulan setelah memperingati ulang tahun ke-70 dan peluncuran buku Djedjak Langkah Hadji A. Salim (Penerbit Tintamas, Jakarta, 1954) yang memuat pilihan karangan, ucapan dan pendapat beliau atas inisiatif murid-murid intelektualnya. Beliau menghembuskan napas terakhir berpulang ke Rahmatullah di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada 4 November 1954. Agus Salim adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dianugerahkan kepadanya pada tahun 1961 oleh Presiden Soekarno, dan tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama sebagai salah satu tokoh perumus Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dianugerahkan oleh Presiden Soeharto atas nama bangsa dan negara.

Pemerintah DKI Jakarta mengabadikan nama H. Agus Salim sebagai nama jalan raya di depan rumah tempat tinggal yang dikontrak Haji Agus Salim semasa hidupnya di daerah Menteng (kini Jl. H. Agus Salim No 72). Beberapa tahun kemudian setelah beliau  wafat, anak-anaknya secara patungan membeli rumah kediaman terakhir Agus Salim demi mengenang jejak kehidupan orangtua mereka.

Perikehidupan dan perjuangan Haji Agus Salim memberi pelajaran abadi tentang nilai dan hakikat sebuah pengabdian yang ikhlas kepada bangsa dan tanah air. Dia adalah pejuang yang hanya memberi dan tak pernah meminta untuk kepentingan dirinya sendiri. Ibu Maryam B. Subadio, salah seorang cucu Haji Agus Salim dalam wawancara Majalah Intisari No 137, Desember 1974, menuturkan,

“Opa tidak meninggalkan warisan berupa harta. Namun beliau meninggalkan warisan yang lebih berharga, yaitu nama baiknya sebagai orang yang pandai dan jujur.”



Leave a Reply